Jakarta -
CIFOR - ICRAF & Walmart Foundation kembali menggelar kegiatan Workshop membahas “Perluasan Pendekatan Yurisdiksi pada Sektor Kelapa Sawit di Indonesia".
Workshop Nasional Ke-2 ini dilaksanakan di CIFOR Office, Kawasan Situ Gede Kota Bogor, Kamis (23/11/23) dengan pembahasan berfokus kepada “Skenario Perubahan untuk Mendukung Kelapa Sawit Berkelanjutan dalam Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat dan Mitigasi Perubahan Iklim”.
Pada kesempatan tersebut, Prof.Dr. Herry Purnomo, Senior Scientist and Indonesia Country Director menyampaikan bahwa kegiatan workshop tersebut dilaksanakan selain untuk mengenalkan kerja-kerja sektor sawit kepada masyarakat, CIFOR juga terus secara konsisten mendorong agar produksi Sawit di Indonesia sesuai dengan kebutuhan pasar, dan tentunya memenuhi syarat dan kriteria untuk keberlangsungan Sawit itu sendiri.
“Kita secara konsisten terus berupaya mendorong Sawit kita ini agar sesuai dengan pasar, syarat dan kriteria sawit berkelanjutan juga dapat terpenuhi.
Kriteria tersebut dapat terbangun oleh Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dan RSPO (internasional),” tutur Herry.
Herry Purnomo melanjutkan, adapun perihal pendekatan yuridisdiksi, CIFOR ingin mendorong agar Sawit di wilayah - wilayah kabupaten agar lebih sustainable.
“lewat forum seperti yang dilaksanakan hari ini, kita ingin melibatkan pimpinan daerah untuk segera merumuskan bagaimana membawa kelapa sawit kita lebih ramah lingkungan karena disatu sisi saat ini sawit kita banyak menghasilkan devisa yang tentunya secara nilai ekonomis sangat menguntungkan, akan tetapi, disisi lain ada masalah dengan emisi, deforestasi, dan sawit yang berada di kawasan hutan, permasalahan tersebut harus dapat diselesaikan,” imbuhnya.
Herry juga menegaskan produk Sawit yang ramah lingkungan adalah juga diamanatkan oleh konstitusi yaitu sesuai UUD 45 pasal 33 ayat 4 yang menyatakan agar dikembangkan dengan cara-cara yang ramah lingkungan, lestari dan berkeadilan. Secara jelas diamanatkan disitu agar sektor perkebunan Sawit dikembangkan tanpa merusak lingkungan.
"Selain itu, yang kedua juga adanya tuntutan pasar baik domestik terlebih internasional agar Sawit harus ramah lingkungan. Tuntutan ini harus disikapi dengan langkah yang komprehensif, bagaimana dan apa yang harus kita lakukan,”paparnya.
Lewat studi berkelanjutan, CIFOR merekomendasikan beberapa hal yaitu memotong antara pengembangan atau ekspansi sawit dengan deforestasi yaitu suatu peristiwa hilangnya hutan alam beserta dengan atributnya yang diakibatkan oleh penebangan hutan. Menurut data, deforestasi Indonesia mencapai 104.000 hektar, sebagai gambaran, luasan tersebut hampir dua kali luas DKI Jakarta. Rekomendasi berikutnya adalah inovasi dalam mengembangkan produktivitas, dan yang selanjutnya adalah, jangan merasa takut dengan standar-standar yang ada, itu adalah yang wajar, bukan sesuatu yang harus disikapi dengan kekuatiran.
“Intinya, Sawit di negara kita harus dikembangkan dengan selayaknya, harus mampu menjawab berbagai kebutuhan sekaligus juga mampu mengikuti perkembangan, pada kenyataannya,memang masih ada permasalahan seperti adanya oknum yang melakukan pengembangan sawit dengan membabat hutan, dengan penebangan hutan mereka bisa mendapatkan bisa mendapat keuntungan dengan menjual kayunya, keuntungan itu digunakan untuk biaya pengembangan sawit, itu jelas tidak benar, karena itu, penegakan hukum juga tetap harus dilakukan secara tegas agar kedepannya hal semacam itu tidak terjadi lagi. Ibaratnya keranjang berisi sawit, jangan lagi produk yang baik dijual bersama produk yang busuk, yang busuknya harus dipisahkan,agar tidak merusak yang sudah baik," tandas Herry.