Hukum di Negeri ini Digunakan untuk Kepentingan Politik?
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nonaktif, Firli Bahuri, bisa saja bebas dari jeratan hukum bila mampu meyakinkan Hakim Tunggal yang mengadili Praperadilan yang dia ajukan.
Hal tersebut disampaikan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Prof Suparji Ahmad, dalam diskusi publik dengan tema: Eksistensi dan Prospek Praperadilan, Jumat (8/12).
"Status tersangka seseorang bisa gugur, jika hakim praperadilan mengabulkan gugatannya," kata Prof Suparji.
"Apakah praperadilan dapat menggugurkan penetapan tersangka? Kalau dikabulkan, itu akan bisa menggugurkan penetapan tersangka," tambahnya.
Diungkapnya, banyak contoh tentang hal tersebut. Misalkan di kasus praperadilan Budi Gunawan alias BG dan Hadi Poernomo. Gugatan praperadilan mereka dikabulkan oleh Hakim Praperadilan, sehingga status tersangkanya digugurkan.
"Ketika praperadilan Pak BG, Pak Hadi Poernomo dikabulkan, maka penetapan tersangkanya menjadi gugur. Sehingga kemudian yang bersangkutan bebas dari masalah hukum," ujar Suparji.
Suparji mengatakan, persoalan berikutnya adalah bagaimana pihak Firli Bahuri bisa meyakinkan hakim tunggal yang menangani gugatan praperadilan, bahwa ada kesalahan prosedur ataupun kesalahan tata cara dalam penetapan tersangka terhadap dirinya.
"Misalnya, tak ada unsur perbuatan melawan hukumnya, tak jelas melawan hukumnya yang mana. Kalau kemudian dianggap melawan hukum dalam hal misalnya penerima gratifikasi, suap atau pemerasan, tak cukup bukti yang kemudian mengindikasikan bukti apa yang bersangkutan melakukan perbuatan tersebut," katanya.
Suparji menegaskan, meskipun ada potensi gugatan Praperadilan Firli dikabulkan, namun semua pihak harus mempercayakan hal itu kepada pembuktian di dalam persidangan.
"Terpenting, jangan gunakan hukum sebagai alat balas dendam ataupun alat politik. Karena kalau itu terjadi, maka hancurlah negara kita ini," tukasnya.