*Wejangan Hukum Oleh Ketua DPC PWRI Bogor Raya : Kegiatan Jurnalistik Tetap Wajib Kedepankan Kaidah Jurnalistik*
Bogor – Adanya putusan MK yang menghapus dua (2) Pasal 14 dan 15 UU 1 tahun 1946 yang mengatur ancaman pidana bagi penyebar berita bohong atau hoaks yang menimbulkan keonaran, seharusnya dapat berimplikasi positif terhadap kegiatan kejurnalistikan oleh para Insan PERS. Hal itu disampaikan oleh Rohmat Selamat, SH.,Mkn., selaku Ketua DPC PWRI Bogor Raya yang juga memiliki background sebagai praktisi hukum yang juga mendukung putusan berdasarkan Putusan Nomor 78/PUU-XXI/2023.
“Selain menjadi angin segar untuk para aktivis yang kerap menyuarakan suara kritisnyaa, putusan tersebut justeru lebih berdampak positif terhadap keberlangsungan kegiatan para Insan PERS. Kenapa, karena dengan dihapusnya kedua pasal itu, teman-teman media bisa lebih meng-eksplore sikap kritisnya tanpa harus dibenturkan oleh kedua pasal yang telah dihapus tersebut,” ujarnya saat menggelar diskusi rutin, Rabu (27/3) malam.
Dalam edukasi yang diberikan, Rohmat juga meminta agar setiap para jurnalis tidak juga terlalu kebablasan menyikapi putusan penghapusan pasal yang cukup beririsan dengan para rekan pers tersebut.
“Rekan-rekan juga tetap harus selalu memahami bahwasanya PERS ataupun kegiatan PERS itu pun juga memiliki ketentuan maupun norma yang disebut Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Surat Keputusan Dewan Pers Nomor: 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik menyebutkan bahwa KEJ berjumlah 11 Pasal, dan UU NO 40 Tahun 1999 Tentang PERS,” imbaunya.
Rohmat juga menjelaskan, pengabulan Permohonan yang diajukan oleh Haris Azhar dan Fatiah mengenai larangan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong sehingga menimbulkan keonaran oleh hakim MK itu justeru harus dicermati lebih positif.
“Walaupun wartawan dalam ketentuannya tidak dapat langsung dibawa ke ranah pidana, dan harus melalui mekanisme Dewan PERS dalam hal keberatan dalam berita, namun ketentuan pemahaman aturan, kode etik, hingga attitude sebagai jurnalis tetap harus menjadi pedoman teman-teman dalam setiap menjalankan kegiatan pers nya,” harap dia.
“Lebih mengedepankan sikap kritis membangun serta mengutamakan integritas dan kapabilitas dalam menghadirkan produk jurnalistik harusnya lebih diutamakan. Menghadirkan informasi yang bersifat edukatif tanpa harus mengesampingkan menempatkan diri sebagai pengontrol akan lebih menunjukan peran positif dari keberlangsungan kegiatan pers itu sendiri, dan saya harap itu yang dikedepankan oleh segenap para punggawa dari rekan-rekan DPC PWRI Bogor Raya dan Insan PERS di Nusantara,” pungkasnya.
Sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan dari Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti, dkk, terkait Pasal 14 dan 15 UU 1 tahun 1946 yang mengatur ancaman pidana bagi penyebar berita bohong atau hoaks yang menimbulkan keonaran.
“Dalam provisi, menolak permohonan provisi para Pemohon untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” jelas Suhartoyo, Ketua MK seperti dilansir dari situs resmi MK, Jumat (22/3).
“Menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” tegasnya. (Effendy)